Selasa, 25 Desember 2012

Civil Society



PERBAIKAN PADA PROGRAM SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL DITINJAU DARI UU SISDIKNAS DAN REVISI PERMENDIKNAS
Program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan/atau Rintisannya (RSBI) adalah program Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) yang paling kontroversial dan menimbulkan banyak masalah sejak awal sampai saat ini.
Mengapa program ini menjadi program kontroversial…?! Ternyata program ini memang sudah bermasalah sejak dari Undang-undangnya. Mari kita lihat.
UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) berbunyi sbb :
3)  Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Ada 4 (empat) masalah yang muncul dari pasal ini.
1) Masalah pertama yang muncul adalah ambiguitas dari istilah ‘Pemerintah dan/atau pemerintah daerah’ pada pasal tersebut. Teks dalam UU yang menyatakan bahwa penyelengggara pendidikan ini adalah Pemerintah dan/atau pemerintah daerah jelas menimbulkan kerancuan dalam operasionalnya. Frase pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah menimbulkan ketidakjelasan otoritas siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas program SBI ini, apakah cukup pemerintah pusat saja ataukah pemerintah daerah ataukah kedua-duanya! Penafsiran kata dan/atau ini bisa ditafsirkan sebagai bersama atau salah satu. Jadi program ini bisa dijalankan bersama atau salah satu di antara keduanya.

Berdasarkan hasil evaluasi Balitbang pada program ini ternyata ada keengganan dari beberapa daerah untuk membiayai program satuan pendidikan yang bertaraf internasional inii. Tidak jelas apakah hal ini menunjukkan bahwa amanat ini masih belum diterima dengan baik oleh daerah-daerah yang menolak untuk membiayainya atau mungkin juga karena UU tersebut diinterpretasikan cukup sebagai tanggung jawab pemerintah pusat semata karena adanya penafsiran dari kata dan/atau tersebut. Bukankah jika pemerintah pusat telah membiayainya dan menganggap program ini adalah program pusat maka daerah tidak perlu lagi turut bertanggungjawab? Dan itu sesuai dengan makna dari UU tersebut.
Jadi frase dan/atau ini bisa berarti :
1.1.1 Pemerintah dan Pemerintah Daerah = kedua-duanya
1.1.2 Pemerintah atau pemerintah Daerah = salah satunya
Jadi penyelenggara program SBI ini bisa salah satu atau kedua-duanya. Bagaimana sebenarnya konsep yang dikehendaki oleh Kemdiknas dalam masalah penyelenggaraan ini?
Bisa salah satu (Pemerintah Pusat saja atau Pemerintah Daerah saja) atau mesti kedua-duanya (Pemerintah Pusat dan Pemda)?
2) Masalah kedua adalah tidak jelasnya istilah ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’. itu sendiri. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ tersebut. Definisi tentang ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ yang ada dalam UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) tersebut yang kemudian diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 Pasal 1 No 35 menjadi :
“Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.”
Jadi frase ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ dalam UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) kemudian dalam PP no 17 tahun 2010 ini telah berubah menjadi Pendidikan bertaraf internasional dan kemudian dijelaskan dengan tambahan keterangan Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.”
Pada tahap ini saja telah terjadi penyimpangan definisi di mana pada awalnya pernyataan dalam UU Sisdiknas adalah merujuk kepada sebuah tingkatan kualitas yang harus dicapai sedangkan pada PP no 17 tahun 2010 telah berubah makna menjadi sebuah sistem pendidikan dan kemudian berkembang dalam sebuah peraturan menteri (Permen 78 Tahun 2009). Sistem ini berpotensi bertentangan dengan amanat yang ada dalam Sistem Pendidikan Nasional yang dinyatakan dalam pertimbangan sbb :
b.   bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang;
Definisi yang dimunculkan dalam PP No 17 tahun 2010 ini sendiri dapat ditafsirkan sebagai sebuah sistem pendidikan tersendiri yang terpisah dari sistem yang dimaksud dalam Sisdiknas. Jadi seolah ada sebuah sistem pendidikan yang bertaraf nasional dan ada sebuah sistem pendidikan yang bertaraf internasional. Hal ini bisa kita lihat dari adanya keinginan dari beberapa sekolah nasional yang tidak ingin mengikuti evaluasi atau ujian nasional dengan alasan bahwa sekolahnya bertaraf internasional.
3). Masalah Ketiga adalah ketidak-jelasan konsep yang hendak dikerjakan oleh Undang-undang ini. Sebenarnya apa yang dikehendaki oleh Pemerintah dengan adanya UU ini? Mengapa muncul istilah ‘Sekolah Bertaraf Internasional’? Bukankah maksud dari semua itu adalah agar Indonesia memiliki sekolah khusus bagi anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan tertentu atau yang disebut ‘the gifted and the most talented’ yang akan dapat dididik dan diberi proses pembelajaran yang sesuai dengan tingkat kecerdasan dan keberbakatan mereka? Lantas mengapa menggunakan istilah ‘Sekolah bertaraf Internasional’ yang tidak punya landasan akademik tersebut?

Analisa:
 Dengan pemerintah mengadakan jenjang itu, maka para siswa harus berusaha untuk mendapatkan nilai yang lebih, agar sekolah mereka dapat diubah menjadi bertaraf internasional.
Bukan hanya itu saja, nama baik sekolah dan kebersihannya pun juga harus tetnama baik sekolah tetap terjaga.
Dengan begitu, pemerintah pun tidak ragu untuk mengganti sekolah mereka dengan taraf internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar